Renungan Malam


sudah pukul satu.
lalu kenapa? aku hanya tak bisa terlelap.
biarkan saja dengkur adikku yang tak kian meluntur.
atau jangkrik yang semakin malas untuk berbisik.
aku hanya masih ingin terjaga.
merasakan denyut malam, menghirup nafas alam.
tidak, ini bukan insomnia.
aku tidak biasa tidur larut.
aku hanya masih ingin terjaga.
menikmati kesunyian.

semenjak tadi pagi, sepi sudah merasuki.
lalu kenapa tidak sekalian saja sampai malam meninggi, menjadi terang lagi?
bertemu pagi lagi.
biar saja kacamata yang sudah melorot ingin dilepas.
atau lengan baju yang sudah digulung.
aku hanya masih ingin terjaga.
menunggu mata tak bisa lagi diajak kerjasama.
sudah sejak siang aku merasa rindu.
lalu kenapa tidak sekalian saja sampai pagi tak lagi menunggu?
bertemu matahari kembali.

tidak ada yang perlu ditakuti saat malam telah datang.
gelap tak akan membunuhmu.
aku tidak bernyanyi jangan takut akan gelap.
karena kadang aku merasa khawatir juga.
bukan akan gelapnya malam.
tapi gelapnya hati, membungkus diam-diam dari cahaya.
menutup rapat semua bagian.
terkunci.
terperangkap dalam pengap.
tak ada cahaya masuk, apalagi keluar.
hanya kegelapan, kekosongan, tidak ada keseimbangan.
ketiadaan dan pasti akan ada dahaga terhadap iman yang pergi entah kemana.
atau mungkin tidak ada?
merugilah saat hati telah terkunci.

kita mungkin terlalu lurus melihat ke depan.
sehingga yang tampak adalah sempitnya bumi oleh bangunan ciptaan kita.
tapi saat kita menatap langit, di sanalah terdapat lebih banyak.
lebih megah dan tertata dengan mewah.
anggun mempesona, menawan setiap jiwa,
menggoda untuk dijelajahi, menginjakkan kaki.

kita mungkin terlalu lurus melihat ke depan.
sehingga yang tampak adalah manusia, dan hewan, dan tumbuhan.
tapi saat mata memandang keeksotisan di bawah kita, di sanalah jeruji kehidupan juga ada.
teratur, terkondisikan, terstruktur.
setiap lapisan punya arti, peran, dan fungsi tanpa ada ketimpangan.
satu bagian bergeser, maka semua merasakan,
empati sosial itu benar-benar ada.
di sana, di lapisan tanah, di kedalaman lautan.

kita mungkin terlalu lurus melihat ke depan.
sehingga yang tampak adalah kegemilangan hari esok.
dibangun atas mimpi dan fantasi imajiner yang membutakan saat tak terbatasi.
tapi saat kita menengok ke belakang, tercerminlah diri kita.
kita siapa. kita apa. kita darimana. dan untuk apa.
setiap pertanyaan punya jawaban, dan silakan jawab sendiri.
mari bernostalgi, merenung, membaca masa lalu.
membuka setiap lembaran yang telah terlalui, diisi oleh tinta.
merah. biru. hitam. PUTIH.
pulpen, spidol, pena, arang.
apapun, dan tak bisa terulang.
kita bisa belajar banyak dari buku itu, tapi untuk mengulang, akan ada TIDAK yang besar.

kita mungkin terlalu lurus melihat ke depan.
sehingga yang tampak adalah ceriminan hati orang lain.
dihamparkan di atas padang fatamorgana, kekaguman, kebencian, dan cinta pada mereka.
pada orang tua, kekasih, guru, dan saudara.
mungkin juga pada idola.
sehingga mata kita tertutup untuk masuk ke dalam diri sendiri.
melihat betapa kotornya hati ini.
perlu dicuci dengan deterjen yang abadi.
yang harum, yang keharumannya sampai mati.
dicuci sampai bersih.
sebelum hati terkunci, tanpa cahaya, masuk atau keluar.

kita adalah manusia.
fitrah kita, memimpin.
khalifah di bumi-biru-bulat-penuh-air ini.
dan kita adalah insan.
yang pelupa.
tapi, lupa bukan alasan untuk tidak punya responsi.
untuk menjustifikasi, apa yang seharusnya tak dipertanyakan.

kita adalah manusia.
fitrah kita untuk menghamba.
pada Sang Pencipta.