Sarasvati : Mirror


Widih, udah lama banget ngga posting di blog. Enam bulan! Rekor, rekor. Semester 7 beneran bikin hobi ngetik cerita tidak tersalurkan gara-gara kebanyakan ngetik laporan. 😀

Hampir dua setengah taun lalu, waktu Pasar Seni ITB, saya sebenernya udah pernah liat nama Sarasvati. Ada satu wahana, saya lupa namanya, yang di stage nya perform Teh Risa Saraswati. Karena terlalu penuh dan susah banget masuk, saya ngga jadi masuk, dan rasa penasaran saya terhadap konsep musik baru mantan vokalis Homogenic ini nggak terpuaskan.

Baru sekitar enam bulan lalu, saya download salahsatu lagunya Teh Risa, judulnya Bilur. Saya kepikiran buat denger lagu ini karena cerita temen tentang kisah di balik lagu tersebut. Hal pertama yang saya pikirin waktu denger lagu ini adalah : Serem! Mana waktu itu malem-malem dan lagi gerimis. Bikin merinding! Jadilah saya nggak mau lagi denger lagu-lagu Sarasvati.

Eh tapi ternyata seremnya lagu Bilur bikin saya penasaran sama Sarasvati. Saya mulai dengerin lagu-lagu yang lain di album EP-nya yang berjudul Story of Peter. Setelah ‘membiasakan diri’ denger nuansa gloomy dan agak galau, akhirnya telinga saya dapat beradaptasi dan malah jadi suka sama lagu-lagunya. Teh Risa bisa banget bawa pengalaman-pengalaman mistisnya menjadi lagu yang membius, catchy, dan gak ngebosenin, kayak lagu Oh I Never Know, dimana Teh Risa berduet sama Tulus. Ada juga lagu Perjalanan yang ceritanya mirip sama pengalaman saya, hhaha..

Sempet nyesel juga ngga nonton Nishkala Sarasvati. Tapi itu agak terobati setelah saya beli album keduanya dan sekalian buku kedua Teh Risa berjudul Maddah. Album ini cukup unik. Covernya dibikin kayak amplop surat berwarna abu-abu, lengkap dengan perangko jadul. Kesan kucel juga ditunjukkan oleh amplop ini, kayak yang udah lama banget diabaikan.

IMG_20130112_191244

Di dalamnya, ada tujuh lembar kertas dan satu buah cd. Yang pertama adalah foto para personil Sarasvati, sama kayak poster konser Nishkala Sarasvati. Kertas kedua merupakan sebuah postcard dengan gambar sesosok wanita (udah pasti hantu ini mah, semacam kuntilanak) berjubah putih yang lagi membelakangi cermin, tapi anehnya, wajahnya masih keliatan di cermin. Sisanya, merupakan kertas berisi lirik-lirik lagu.

IMG_20130112_194110

Ada sepuluh lagu di album Teh Risa yang kedua ini, yaitu Maddah, Haunted Sleep, Ivanna, Solitude, Danur (ft. Arina Ephipania), Gloomy Sunday (ft. Trah Project), Aku dan Buih, Graveyard, Mirror (ft. Cholil Mahmud), dan Death Can Tell A Lie.

Lagu favorit saya di album ini adalah Graveyard dan Death Can Tell A Lie. Waktu pertama kali membaca liriknya, saya pikir lagu Graveyard adalah lagu yang akan bernuansa menyeramkan, karena selain judulnya yang berarti kuburan, liriknya yang berbahasa inggris juga menceritakan makhluk-makhluk yang nongkrong di sana. Tapi ternyata setelah didengarkan, lagunya  sangat ceria dan easy listening. Suara anak-anak yang sedang bermain dan ketawa ketiwi menambah kesan menyenangkan.

Graveyard

We are the children from grave but some get over that
Count our blessing
Better than that buy a hat, buy a coat, or pet
Take up dancing

We shall not sing a sad song we could sing happy song
When the darkness comes down
We’ve seen better in the dark, we don’t need a light
All we need is here…

We’re ghost forms of fright
We have driven sleep from eyes away

The giant trees are bending
The storm fast decending
We don’t care just keep singing

Sleep sleep you are all sleep
Little sorrow sit and weep

Secret joys and secret smiles
Little pretty infant wiles

From your cheek and from your eyes
You’re the youthful harvest night
When your little heart awake
Then the dreadful lightning breaks

Kalau lagu Death Can Tell A Lie bener-bener kebalikan dari lagu Graveyard. Ini sih bener-bener lagu kematian, hhaha. Penciptanya adalah vokalis band Olive Tree, Kiki Chan, yang juga ikut nyumbang suara piano di lagu ini. Di akhir lagu kita bisa mendengarkan suara tangisan perempuan. Sedih lah pokoknya…

Death Can Tell A Lie

One lightning flash
far from this place
Under our bare
And bleeding feet its over… its closer

A damn soul, the pale of glow

Playing a scene
Down to your feet
Along your tight
And bright as eyes its over… its closer

The misty gloom, behind the holes

Bright as eyes its over… its closer
That even Death can tell a lie.

Well, semoga Teh Risa dkk bisa terus berkarya dan menghasilkan karya-karya yang lebih keren lagi. 😀

Surat Cinta


Bertahun lamanya kita terpisah. Sudah sejak aku menginjakkan kaki di ruang-ruang yang penuh meja dan kursi yang berjejer, yang jika pagi sampai siang dipenuhi oleh anak-anak manusia dan konon saat malam dipenuhi anak dedemit, kau telah meninggalkanku. Sejenak, aku juga telah lupa. Lupa akan kehadiranmu yang dulu sangat berharga untuk kutunggu. Dulu. Dulu sekali saat aku masih ingusan, dicari-cari ibuku untuk dipopok saat aku bermain denganmu.

Dan aku tak tahu namamu. Dan aku tidak peduli.

Ingatkah engkau? Dulu kita berusaha mengejar sore bersama-sama. Kita patri jingganya di sebuah frame foto yang terbuat dari buluh-buluh bambu. Lalu kita bawa pulang. Dan malamnya aku tertidur, memimpikan angan-angan kita tentang sebuah album foto, agar setiap sore yang kita tangkap dapat kita simpan di sana. Dan kita dapat mengenangnya saat aku berkumis nanti.

Ingatkah engkau? Lumpur menjadi teman kita. Debu menjadi udara yang kita hirup. Dan aku ingat saat engkau selalu terbatuk menghirup udara malam. “Kau seperti kakekku,” kataku dulu, lalu kita tertawa bersama. Saat matahari pagi bangkit dari kedalaman malam, aku dibangunkanmu, lalu kita terbang mencari pagi. Ya, kau selalu mengejekku karena aku tak pernah bisa membawa pagi pulang. Dia selalu berubah menjadi siang.

Mimpiku adalah mengecilkan bulan. Ya, bulan yang besar itu ingin sekali aku buat masuk ke kantongku. Seperti bintang yang selalu kau beri padaku. Aku pernah bertanya. “Mengapa kau belum pernah memberiku bulan?” Kau hanya tersenyum dan menjawab, “Jika bintang kuambil satu, masih ada yang akan menerangi malam, karena mereka sangat banyak. Jika bulan kuberikan padamu, maka malam akan segelap kolong tempat tidurmu.”

Lalu kau melanjutkan. “Jadilah seperti bulan. Satu-satunya. Istimewa, dan dirasakan istimewa. Jadi jika kau pergi, orang-orang akan merasa kehilangan.”

Tak pernah kulupa bagaimana dulu sawah hijau di depan rumah itu menjadi tempat bersua kita. Lihatlah itu di imajinasiku. Aku yang bertelanjang dada, dengan kaki yang masih goyah, tangan yang begitu mungil, dan celana hitam pendek yang begitu penuh lumpur, berusaha mengejarmu di pematang sawah. “Tunggu aku!” kataku. Aku berlari, lalu jatuh, tapi tetap terbahak-bahak. Lihatlah itu laying-layang yang kau terbangkan untukku. Aku tak pernah bisa menerbangkannya, aku ingat. Kau yang selalu membantuku. Oh iya, angin juga. Tak pernah kulupa.

Kau pasti masih ingat, bukan? Aku yang saat itu menangis. Tak bisa kuhentikan air mataku. Dan kau datang, dengan angin, dengan bintang, dengan hijaunya padi yang belum matang, dengan secuil jingganya senja, dan layangan yang telah robek di bagian tengahnya, untuk menghiburku. “Mari bermain, Kawan,” katamu. “Bermain apa?” tanyaku setenga terisak. Kau tidak menjawab. Kau genggam tangan kecilku, menyeka air mataku, lalu menggendongku. “Apa saja,” katamu. “Apa saja yang kau mau.” Lalu aku berteriak suka, dan kau mulai berlari. Menuju masa depanku. Lalu kau turunkan aku di depan bangunan penuh meja dan kursi itu. Dan baru setelah lama, setelah aku bertemu dengan kawan lainnya yang disebut lelaki dan wanita, yang disebut Ibu dan Bapak Guru, juga kucing dan siput di halaman, dan juga lembaran-lembaran angka, aku sadar. Gendonganmu itu adalah yang terakhir. Dan itu adalah perpisahan.

Kau begitu ramah padaku. Kau begitu baik. Dan aku pun merasakan cinta padamu. Tapi, kau pergi. Atau mungkin, justru aku yang meninggalkanmu?

Cintaku yang entah kemana.

Aku sering membaca tentangmu di buku-buku. Itu sedikit banyak mengobati rinduku, Mereka bicara yang baik-baik tentangmu. Ah, ternyata tidak juga. Akhir-akhir ini aku sering mendengar engkau sakit. Benarkah itu? Aku tak percaya. Dulu kau selalu ceria, aku tahu. Aku ingin membuktikannya. Aku ingin menjengukmu, Cinta. Tapi tak pernah bisa aku menemukanmu. Aku tak tahu engkau dimana. Tak seperti dulu, saat aku sangat mudah bertemu denganmu yang tersenyum.

Kutulis surat ini untukmu. Aku rindu, dan akan kusampaikan sendiri tulisan ini padamu. Tak kupercayakan pada orang lain. Karena di amplopnya, ada bintang yang kau beri, senja di frame yang tak sempat kita masukkan ke dalam album foto, secuil pagi yang berusaha kutangkap tadi, semua puisimu untukku, dan laying-layang yang robek di bagian tengahnya.

Itulah bukit yang pertama aku harus taklukan. Tunggu, apakah itu sebuah bukit? Dahulu saat kita bermain, mereka penuh dengan hijaunya daun, berserakan bintang-bintang hijau di bawahnya. Tapi apakah itu yang sekarang berada di puncaknya? Kokoh angkuh, lantang menentang yang mau membabatnya. Aku tak akan sanggup. Aku tak akan bisa. Hey, angin datang membantuku, membawa ketapel yang kutembakkan pada si angkuh itu. Dan dengan bintang yang selalu kau beri itu, dia roboh.

“Gunakan laying-layangmu,” kata angin. Aku memakainya di punggungku. Kutambal robekannya dengan foto-foto senja. “Apakah aku tak bisa terbang bebas seperti dulu?” tanyaku pada angin. Dia menjawab muram. “Tidak, kini kau membutuhkan bantuan. Kau tak sebebas dahulu. Lihatlah saja hati dan pikiranmu.”

Hati dan pikiranku? Itukah yang membuat aku sulit mencarimu?

Aku tetap terbang bersama angina dan laying-layang yang robek di bagian tengahnya. Aku menanyakan tentang cintaku pada angin yang kini kurasa sudah berbeda, tapi dia tak menjawab. Sampai suatu saat, malam tiba. Entah sudah berapa lama aku berada di udara. Malam datang tak sendirian. Bersamanya, bukan datang bintang atau bulan. Tapi awan yang penuh dengan halilintar. Hujan mulai membasahi kemejaku. Dasi merah yang aku pakai sudah hilang entah kemana. “Bulan!” aku berteriak. “Bencikah engkau padaku sampai tak mau membantuku?”

“Jangan berteriak-teriak!” seru angin. “Kau masih punya secuil pagi, bukan?” Dan aku pun teringat olehnya. Dengan susah payah, aku tarik amplop surat ini dari saku celana. Tanpa sengaja, pagi yang sudah kutangkap berhamburan. Jatuh ke bumi. Matahari kembali. Awan, hujan, dan halilintar pergi.

Betapa sulit aku mencarimu. Padahal, kini langkahku sudah tegap. Otot dan tulangku tumbuh dipupuk oleh susu dan semangat untuk menemukanmu. Aku tidak lagi dikejar-kejar ibuku untuk memakai popok. Dan seperti yang kau ramalkan dahulu, kini aku mempunyai rambut-rambut tipis di bawah hidungku. Bahkan, rambutku pun sudah ada yang memutih. Tuhan, tolong aku. Aku ingin sekali menemukannya.

“Di sana!” teriak angin. Aku melihat ke arah yang ditujunya. Kuturunkan laying-layangku dan aku hampiri dirimu. Itukah engkau? Tak lagi kukenali dirimu. Kau memang berada di sana. Keindahan dan senyum ramahmu masih ada di wajahmu. Tapi benarkah itu engkau? Engkau sekarang melemah. Terbaring tak berdaya di trotoar jalan. Darahmu mengucur tak henti-henti. Lumpur menghiasi pakaianmu. Keringat membasahi seluruh badanmu. Tuhan, benarkah ini cintaku? Benarkah ini? Mengapa ia menjadi seperti itu?

“Apa yang terjadi?” tanyaku. “Aku susah payah mencarimu, melawan bukit dan badai dan ombak besar di lautan. Tapi mengapa dengan seperti ini kau menyambutku? Tidakkah kau merindukanku?”

Aku menangis. Aku tak tahu apakah tangisanku hanya pura-pura agar cintaku mengangkat tangannya dan menyeka air mataku atau ini memang tangisan pili. Aku tak tahu. Tolong, jangan mati. Lalu aku teringat tentang semua yang aku bawa. Surat itu, dan amplop yang berisi bintang yang kau beri, senja di frame yang tak sempat kita masukkan ke dalam album foto, secuil pagi yang berusaha kutangkap tadi, semua puisimu untukku, dan laying-layang yang robek di bagian tengahnya. Kubuka amplop itu, tapi yang tersisa hanya suratku dan puisimu.

“Aku membawa surat untukmu,” kataku. Kau tersenyum, tapi terengah-engah. Angin hanya menatap kita dan membelai dengan segala kemampuannya. Luka di sekujur tubuhmu masih tetap mengalirkan darah. Itu, aku tak bisa menyeka keringatmu, bisakah kau membantu dirimu sendiri?

“Bacakan untukku,” katamu lirih.

“Tak bisa, aku harus menulis namamu di suratku agar semuanya lengkap.” Aku mulai menangis melihatmu yang kehabisan nafas. Kau memberikan isyarat untuk memberikanmu penaku. Lalu, kau menulis sebuah kata yang sangat indah, hanya sembilan huruf, tapi mampu membuat air mataku mengalir lebih deras. Lalu, kubacakan suratku untuknya.

Indonesia tanah air beta

pusaka abadi nan jaya

Indonesia sejak dulu kala

tetap dipuja-puja bangsa.

 

Di sana tempat lahir beta

dibuai dibesarkan bunda

tempat berlindung di hari tua

sampai akhir menutup mata.

 

Ternyata aku menyanyi diiring siulan angin. Kau tersenyum, lalu berkata. “Aku akan selalu di sini sampai tidak ada lagi yang mencintaiku. Lagumu untukku menunjukkan bahwa ternyata aku masih dicintai. Aku percaya, dengan cinta, kita akan berlari bersama lagi.”

Dan suratku pun lengkap dengan kalimat terakhirku :

Aku cinta Indonesia.

 

Terbang!


ayo lompat!
lompat!
tumbuhkan sayap
lalu TERBANG!

ayo lompat!
tangkap anginmu sendiri!
kepakkan sayap
lalu TERBANG!

saat mata terpejam karena sinar matahari dan pecahkan suara untuk terbang
saat tangan terjulur untuk menyentuh udara dan jauhkan duka untuk terbang
saat itu
saat itu
terbang, terbang, terbang
menembus cakrawala
putuskan akar
ke luar angkasa.

mari terbang!

Mawar


ini hanya tetes air.
lalu kenapa kita takutkan?
langkah kita terlalu berharga untuk terhalang badai.
di gurun besar.
di lalut luas.
aku dan kamu.
berlari menghancurkan batas.

biar jeritan merobek hati.
biarkan dia sendiri.
kita pergi,
aku hanya mengajakmu, cinta,
untuk tidak pernah berhenti.

di sana.
di sana tujuan kita.
kamu, wanita sehangat cahaya sore, setelah hujan.
maukah kamu menemaniku
sampai tanganku, tanganmu,
menyentuh pagar rumah kita?
dan kupetikkan daun mawar.
hanya daunnya.
karena bunganya telah tersenyum kepadaku.
berlari bersamaku.

Robohnya Sekolah Kami


Saya penasaran. Waktu seorang pejabat hendak melakukan korupsi, atau mungkin ‘sedikit’ menyalahgunakan kekuasaannya demi kekenyangan perutnya sendiri, pernah nggak ya mereka mikirin akibatnya. Apakah mereka tahu bahwa banyak rakyatnya yang kelaparan, yang sawahnya kekeringan, yang mati karena nggak ada biaya buat ngobatin penyakitnya, atau yang sekarang lagi rame kasusnya : anak-anak yang terancam keselamatannya karena sekolah tercinta mereka sudah TIDAK LAYAK untuk dipakai belajar.

Kita sudah biasa mendengar tentang bobroknya bangunan sekolah di daerah-daerah terpencil. Bahkan, nggak jarang banyak bangunan yang roboh saat ada angin kencang atau hujan deras. Tapi yang bikin miris adalah, ternyata di sekitar kota-kota besar, di daerah yang kaya akan barang tambang, bahkan di pusat kota, ada juga bangunan sekolah yang hampir rubuh. Kemana komitmen negara untuk memperbaiki sistem pendidikan?

Anggota parlemen sangat sibuk menghabiskan dana ratusan milyar rupiah untuk studi banding yang tidak pernah kita rasakan manfaatnya. Mereka juga sangat bersemangat untuk meng-goal-kan rencana pembangunan gedung baru parlemen yang akan menguras anggaran negara trilyunan rupiah. Belum lagi korupsi yang nggak ada ujung solusinya dan hutang luar negeri yang menyedot anggaran. Dan di tengah semua pemborosan itu, permintaan beberapa sekolah dasar untuk memperbaiki infrastruktur sekolahnya hanya masuk telinga kanan, keluar lagi dari telinga kiri. Tidak dihiraukan.

Alokasi dana pendidikan Indonesia adalah 20 % dari total APBN atau senilai 266,9 triliun rupiah. Besar kan? Jangan kaget dulu, nilai itu termasuk kecil diantara negara-negara ASEAN lainnya yang rata-rata alokasi dana pendidikannya sekitar 25-31 % dari APBN. Bahkan Amerika mengalokasikan dan sebesar sekitar 60%.

Pada awalnya, dana pendidikan sebesar 267 triliun rupiah itu tidak termasuk dana gaji guru, dosen, dan pegawai. Tapi akhirnya MK memutuskan bahwa dana tersebut telah termasuk belanja pegawai. Jadi, hanya sekitar 59 triliun rupiah yang ‘bersih’ untuk pendidikan dan infrastrukturnya. Itu pun, sebesar 29 triliun untuk pendidikan tinggi dan sisanya untuk pendidikan SD, SMP, dan SMA.

“Birokrasi yang bobrok membuat dana untuk sekolah-sekolah kecil menjadi semakin menyusut,” kata Budiningtyas (pengamat pendidikan) dalam acara talkshow di MetroTV. “Misalnya, untuk membangun sebuah sekolah dibutuhkan dana sebesar 200 juta rupiah. Karena birokrasi yang kacau, dana yang diterima sekolah untuk membangun hanya tersisa sebesar 50%-nya saja,” lanjutnya. Jadi jangan heran kalau ada bangunan yang baru dibangun 5 tahun tapi sudah rubuh lagi. Kualitasnya kan memang berkurang 50%.

Kita tidak seharusnya men-judge pemimpin-pemimpin negeri ini tidak becus mengelola negara. Memang sulit untuk mengatur dan memimpin negara sebesar Indonesia. Tapi, jika tidak ada komitmen untuk menjalankannya, tidak akan ada progres yang dicapai. Untuk Indonesia maju, mari kita juga berpikiran untuk memajukannya. Jangan sampai pendidikan diabaikan, karena menyiapkan generasi muda adalah kebutuhan utama jika bangsa itu ingin tetap bertahan dalam dunia.

Sesuatu itu Bernama Ospek


OS itu indah untuk dikenang, indah untuk diceritakan, tapi berat waktu dijalankan..

–Mas Deddy, TM 96 (staf pengajar junior TM)

Apa yang teman-teman pikirkan waktu kata ospek disebutkan? Kekerasan? Senioritas? Capek? Mahasiswa baru? Bentak-bentakan? Atau bahkan per-plonco-an? Banyak banget yaa yang bisa kita ‘turunkan’ dari satu kata itu. Dan tanpa kita sadari, turunan kata ospek itu kadang menjurus ke hal-hal negatif.

Kita tentu masih ingat dengan kejadian wafatnya mahasiswa IPDN  yang dianiaya seniornya. Atau juga kejadian wafatnya beberapa mahasiswa ITB (dalam waktu yang berbeda-beda tentunya) yang menurut desas-desus ada hubungannya dengan ospek yang sedang dijalaninya. Buat kita-kita yang sudah tingkat atas, mungkin juga sudah sering menjalani masa-masa orientasi seperti itu, mulai dari waktu SMP, SMA, pas masuk kuliah, pas masuk jurusan, pas mau masuk unit kegiatan mahasiswa, dll. Rasanya? Mungkin banyak yang setuju sama kata-kata senior saya di atas itu.

Ada yang menyebutnya ospek, ada juga yang menyebutnya OS (orientasi siswa), osjur, PMB, dll. Tujuannya seringkali mulia, yaitu mengenalkan anggota baru pada lingkungan yang akan dimasukinya, membina fisik dan mental anggota baru, dan matrikulasi materi keorganisasian. Tapi terkadang, ada benih-benih dendam di dalamnya.

Dosen-dosen saya tadi siang tiba-tiba ngebahas tentang ospek ini waktu kuliah. Mas Pudjo Sukarno (dosen Teknik Produksi) tiba-tiba membahas ospek dan kebenciannya terhadap ‘kriminalitas’ di dalam kampus. Beliau menceritakan pengalamannya waktu dulu jadi wakil dekan FIKTM (Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, sekarang dipecah jadi FTTM dan FITB). Waktu itu, seorang mahasiswa salahsatu prodi FIKTM hampir mengalami gagal ginjal karena dipaksa longmarch puluhan kilometer tanpa minum dengan layak. Dia hanya diizinkan minum dalam interval beberapa kilometer, itu pun hanya satu tutup botol air mineral. Esensinya? Penyiksaan secara perlahan (menurut saya sih). Dua orang senior di-DO dan beberapa yang lainnya mendapat skors 2 semester.

Beliau juga cerita tentang mahasiswa lain yang tangannya ga bisa berhenti bergetar akibat dipaksa push-up oleh senior-seniornya. “Di luar negeri yang hukumnya kuat, kasus seperti itu bisa dihukum dengan berat. Hukuman DO dari kampus itu masih terlalu ringan,” katanya.

Dosen saya yang lainnya, Mas Deddy (dosen pengganti Analisa Formasi) tiba-tiba membahas kasus Saipul Jamil yang dijadikan tersangka karena dianggap lalai dan membuat istrinya meninggal waktu kecelakaan mobil beberapa pekan yang lalu. “Memang ada pasal-pasalnya,” kata Mas Deddy sambil nunjukkin pasal 359 dan 360 KUHP tentang penganiayaan dan perbuatan (baik sengaja maupun nggak) yang menyebabkan luka atau meninggalnya orang lain. “Kekerasan di dalam Ospek memang dapat diproses secara hukum,” katanya menambahkan.

Banyak yang bilang, di ITB sendiri tingkat ‘keras’nya ospek sudah berkurang dibandingkan dulu. Sekarang banyak lembaga yang mengutamakan pola pikiran kritis di dalam masa orientasinya. Anggota baru banyak diajak berpikir tentang berbagai hal yang menjadi kewajibannya, baik semasa orientasi, ataupun setelah itu. Penekanan esensi dalam melakukan berbagai hal diutamakan. Hukuman fisik sudah dihilangkan oleh beberapa lembaga karena sudah dianggap bukan lagi cara untuk melakukan pendewasaan.

Ospek itu penting. Penting sekali menurut saya. Akselerasi belajar pada masa itu secara tidak disadari meningkat dengan cepat. Tapi yang penting untuk dipikirkan oleh panitia adalah, tingkat keberterimaan seseorang dalam belajar berbeda-beda. Orang yang waktu SMA nya sudah terbiasa lari berkilo-kilometer akan berbeda kekuatannya dengan orang yang jarang sekali melakukannya. Lalu apakah mereka berdua juga harus menerima konsekuensi yang sama dengan dalih ‘kebersamaan’? Apalagi, hukuman fisik seperti itu tidak diawasi oleh seseorang yang benar-benar profesional. Hanya diawasi oleh segelintir orang yang merasa benar. Yang dirasakan si ‘korban’ (anak yang nggak biasa lari) bukanlah senangnya kebersamaan, tapi hanya sakitnya siksaan, lalu perasaan ‘dulu gue juga disuruh2 seenaknya’ akan segera muncul.

Saatnya pendewasaan. Semua proses dalam kaderisasi bukan hanya untuk anggota baru, melainkan juga untuk para pendiklat. Bisakah kita semua menjadi lebih dewasa setelah masa-masa itu selesai?

Wallahu’alam bishhawab.. ^_^

 

DEADline!


Saya deadliner, ga usah dipungkiri. Besok ada tugas numpuk, saya kerjain malem ini. Minggu ini ada ujian yang susah banget, saya baru mulai belajar serius juga malem ini. Pokoknya, saya bener-bener deadliner. Kuliah jam 7, saya baru berangkat setengah 7 biar nyampe kelas cuma kurang beberapa menit aja.

Jelek memang, serasa nggak direncanakan dengan baik. Tapi sering saya menikmati perasaan seperti dikejar-kejar waktu. Kayaknya, di situ titik tantangannya. Tantangan? Jadi mikir ulang, apa benar yang saya rasakan itu tantangan. Hampir setiap tahun saya membuat resolusi untuk berubah dari kebiasaan ‘bersahabat dengan waktu akhir’ ini. Then, resolusi cuma tinggal tulisan pulpen item di atas kertas.

Jadi inget, waktu ikut seleksi Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN) beberapa bulan lalu pun, surat lamarannya baru saya kirim 20 menit sebelum batas akhir (alhamdulillah tapi, lolos juga walau cuma sampai tahap 20 besar dan ga jadi ke luar negri.. -___-). Dari mulai kapan yaa kebiasaan deadline ini saya dapatkan? Let me think..

SD? Ngga, waktu SD saya rajin, hhaha..

SMP? Bisa jadi. Eh, tapi waktu SMP saya masih rajin juga deng. Haha, kayaknya waktu SMA deh, apalagi setelah kelas 2, setelah mulai dekat dengan yang namanya kehidupan organisasi.

Lha, jadi organisasi ada hubungannya dengan deadliner? Ngga juga, ini mah kayaknya emang sifat tersembunyi (dan sekarang ketahuan) saya. :p

Nah, tugas buat besok belum beres juga. Selamat datang kembali ke jepitan tangan, pulpen hitam. Mari menari di atas kertas HVS! 🙂


Air Hujan itu,…..Menyenangkan!


Kalo September atau Oktober datang, biasanya air hujan ikut mampir. Masih inget pelajaran SD tentang angin muson barat yang bertiup dari Asia ke Australia dan membawa butiran-butiran hujan sehingga di Indonesia juga hujan? Hehehe, saya bener ga ya?

Well, sejak dulu saya ga pernah benci hujan. Palingan cuma kesel doang karena ga jadi pergi ke suatu tempat karena kejebak hujan. Tapi, baru kali ini saya seneng banget musim hujan akhirnya tiba. Saya kasian aja ngeliat di berita, banyak tempat di Indonesia yang tanahnya retak-retak (halaman rumah saya juga!! hho), sumurnya kering, ga dapet pasokan air dari pemerintah, sampai sawahnya gagal panen dan kebakaran hutan. Alhamdulillah yaa.. 🙂

Waktu dulu masih SMA, rame banget kalau udah maen bola di Lapangan Bali (lapangannya ada di Jalan Bali) sama temen-temen. Lapangan Bali ini drainase nya parah banget. Jadi kalau pas maen atau sebelumnya hujan gede, wah, setengah lapangannya berubah jadi rawa. Kecipak-kecipak deh maennya. Jadi ada tiga tim yang main di lapangan : tim saya, tim lawan, dan air. Rebutan bola tambah ‘menyenangkan’. Hahaha..

Yang paling saya suka, waktu hujan enaknya sambil ngopi atau ngeteh di lantai atas, sambil baca novel atau ngobrol ngalor ngidul sama temen. Rasanya inspirasi dateng ngalir terus. Obrolan ga ada habis-habisnya.

Selamat datang, Musim Hujan. Semoga rasa syukur ini membuat saya dan Indonesia merasakan berkah yang selalu kamu bawa setiap datang menyapa tanah. 🙂

Zwanzig


parantos dua,sakedap deui moal karaos janten tilu, teras opat, lima, genep, duka dugi ka iraha, duka liren di mana..ya Allah Pangeran nu Maha Agung, pasihan abdi waktos kanggo babaktos ka mamah-bapak, ka lemah cai, sareng ka agama anu ku abdi bela. pasihan abdi waktos nyiapkeun bekel kanggo kahirupan salajengna.

astaghfirullah, hampura abdi ya Gusti..

🙂